Sejarah Semarang lama mencatat bahwa terdapat tempat-tempat yang menjadi pusat peradaban budaya yang saat ini masih eksis dan sebagian hanya tinggal kenangan (bangunan tua). Tempat tersebut dibagi menjadi 4 (empat) yaitu : Kampung Kauman, Kampung Pecinan, Kampung Belanda (
Little Netherland), dan Kampung Melayu. Kampung Kauman pada tempo doeloe merupakan kawasan padat penduduk keturunan jawa, sekarang keturunan Arab juga banyak. Kampung Pecinan dihuni sebagian besar oleh keturunan Tionghua dan Kampung Belanda merupakan daerah pemerintahan dan kota kecil yang sekarang disebut dengan Semarang Kota Lama. Sementara Kampung Melayu lebih banyak keturunan Arab, dan pada saat ini masyarakat Jawa lebih banyak berada di daerah kampung melayu.
Tulisan terdahulu tentang
Sejarah Kali Mberok,
Kawasan Kota Lama dan
Masjid-Masjid Lama di Kota Semarang mencatat bahwa keempat kebudayaan tersebut menyatu dan saling berkaitan. Melihat bentuk tata kota Semarang pada zaman sekarang maka sebenarnya masih nampak sedikit berkumpulnya kebudayaan-kebudayaan yang berbeda di Semarang. Sebagai titik sentral adalah jembatan kali mberok, maka kampung melayu berada disebelah utara yang terdapat jalan Layur dan Masjid Menara. Sementara Litte Netherland berada di sebelah timur yang sekarang menjadi Kawasan Kota Lama dan berjajar gedung-gedung Pemerintah Belanda ke arah barat hingga ke Bundaran Tugu Muda. Sementara di sebelah barat kali mberok merupakan kawasan etnis jawa yang disebut dengan Kauman. Masyarakat Tionghua lebih banyak berkumpul diselatan kali mberok yang sekarang menjadi kawasan pecinan.
1. KAMPUNG KAUMAN
Kauman atau kampung Kauman secara legendaris merupakan kaum yang dihuni oleh masyarakat Jawa yang lebih cenderung religi beragama Islam. Ciri khas utamanya adalah banyaknya Santri yang merupakan pusat Semarang tempo dulu. Bangunan yang masih kokoh berdiri adalah Masjid Agung Semarang Kauman. Sebagai pusat peradaban Islam, maka Kauman sangat berperan penting dalam perkembangan Kota Semarang seperti saat ini. Penduduk yang padat menjadi poin tersendiri bagi kebudayaan Jawa yang direpresentasikan dalam Kampung Kauman. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan Kauman? Dalam berbagai literasi sejarah jawa, Kauman sering disemayamkan pada kota-kota lama yang bernafaskan Islam. Tidak hanya di Semarang, di Surakarta, Jogjakarta, Demak terdapat tempat yang bernama Kauman. Karena pada era dulu, Kauman merupakan ciri khas kebudayaan Jawa yang lebih dekat dengan agama Islam. Ciri khas utama Kauman adalah adanya Masjid Wali, bundaran Alun-alun, pusat pemerintahan dan pasar tradisional. Walaupun rumus tersebut tidak harus sama.
Keempat pilar utama tersebut yang menjadikan pencirikhasan Kauman. Masjid sebagai tempat ibadah, Bundaran Alun-alun sebegai saran sosial masyarakat dan pemerintah, Pasar Tradisional sebagai pusat bisnis dan kebutuhan sehari-hari, dan pusat pemerintahan merupakan komponen pengatur regulasi yang diterjemahkan kedalam peraturan (fatwa). Nah, kembali ke Kawasan Kauman Semarang, sejarah menulis bahwa kawasan Kauman Semarang muncul ketika kerajaan Demak Bintoro (bintara) berdiri yang merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Nama Kauman sendiri berasal dari kata
kaum sing aman (kaum = qoum = tempat tinggal orang Islam). Jadi Kauman bisa bermakna tempat tinggal masyarakat Islam yang aman.
Ketika kerajaan Demak Bintoro sudah berdiri kokoh, maka untuk mempersatukan Demak dengan wilayah sekitarnya perlunya birokrasi pemerintahan yang bisa mengaturnya, salah satu tokoh yang memengang peran penting adalah Ki Ageng Pandan Arang I . Ki Ageng Pandan Arang merupakan putra dari Panembahan Sabrang Lor (Sultan Kedua dari Kesultanan Demak), pada awal
babat alas diwilayah Semarang sebenarnya wilayah yang dituju disekitar Pragota (sekarang bernama Bergota). Namun kemudian zaman berkembang, maka Ki Ageng Pandan Arang kemudian juga menyebarkan Islam dan wilayahnya hingga Pedamaran (sekarang jalan Pedamaran yang berada di wilayah Semarang Tengah dan masih ada Pasar Pedamaran – berkembang lagi menjadi pasar Yaik dan Johar). Perkembangan tidak hanya sampai pusat ekonomi, namun juga pusat religi dengan membangun Masjid yang berada disebelah barat kali mberok yang sekarang bernama Masjid Agung Kauman Semarang.
Setelah Ki Ageng Pandan Arang I wafat, maka posisi pemerintah diserahkan pada anaknya yang bermana Pangeran Mangkubumi (atau disebut juga Ki Ageng Pandanaran II – Sunan Bayat). Pada tahun 1695, kawasan kota lama Semarang dihuni oleh beragam etnis yang bertujuan untuk melakukan perdagangan dan ekspansi wilayah. Ekspansi wilayah dilakukan oleh orang-orang Eropa (Belanda) yang ikut berkembang di Kawasan Kota Lama. Pada masa itu, pemerintah Hindia Belanda membangun kawasan elit dan perkantoran yang berjajar dari bundaran Bubakan hingga Bundaran Tugu Muda. Kemudian ada istilah yang membagi wilayah menjadi dua yaitu
gedongan bagi kawasan elit Hindia Belanda dan
Perkampungan bagi warga pribumi. Nah, kawasan perkampungan ini sekarang dikenal sebagai kampung pecinan, melayu dan kauman (Kalau bisa di katakan sebenarnya inilah kawasan kota lama sesunguhnya).
2. KAMPUNG PECINAN
Pecinan merupakan sebutan bagi masyarakat tionghua dan keturunannya yang hidup berkemlompok menjadi satu wilayah. Pada awalnya orang Tionghua bertempat di Kota Lama, sebenarnya mereka hidup dan bertempat tinggal di Little Netherland yang berada di Kawasan Kota Lama. Namun pada tahun 1695 pemerintah Hindia Belanda secara tidak langsung membatasi akses masyarakat Tionghua hingga akhirnya berpindah di sekitar kawasan kampung Melayu. Namun karena nilai ekonomis dan budaya, orang-orang tionghua lebih banyak berkembang di sekitar selatan Kauman. Perkembangan masyarakat tionghua semakin banyak dan kemudian mendirikan kawasan dan rumah-rumah sendiri yang dibuat dengan atap genting dan pagar-pagar tinggi. Rumah-rumah masyarakat tionghua pertama kali berada di sekitar Pecinan Lor dan Wetan. Karena membutuhkan biaya tinggi dan berbagai syarat yang tidak mudah dalam mendirikan rumah, maka ketika itu hanya orang-orang tionghua yang kaya saja yang bisa membangun rumah.
Kondisi jalan yang tidak terlalu lebar seperti sekarang, membuat masyarakat Tionghua menciptakan sebuah moda transportasi dengan memakai tenaga kuda yang disebut dengan
Be Too. Masyarakat Tionghua lebih banyak melakukan aktivitas perdangangan yang berasal dari Cina (Tiongkok) seperti perhiasan, sutra, keramik dan lain sebagainya. Hingga sekarang, perdangangan tersebut masih banyak bergerak di kawasan pecinan. Misalnya kawasan perhiasan dan kain yang berada di Jalan Wahid Hasyim. Poin yang menjadi titik kebangkitan orang Tionghua di Semarang adalah ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai mendekati orang-orang Tionghua yang sukses. Salah satunya dengan mengangkat orang Tionghua menjadi pejabat di kantor-kantor pemerintah Hindia Belanda. Kwee Kiau Loo adalah orang Tionghua pertama yang menjadi pejabat Hindia Belanda.
Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, ketika Semarang secara
de yure diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang dikuasai oleh VOC (
Vereenigde Oostindische Compagnie – Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) oleh Susuhunan Mataram maka beradaan masyarakat Tionghua sedikit menjadi bergoyah. Salah satunya dengan memberikan pajak tinggi terhadap barang dagangan yang dikelola olah orang Tionghua seperti arak dan garam. Walapun begitu, pajak yang dikenakan justru merupakan sumbangan tinggi bagi keberadaan Semarang pada masa lalu. Dalam bidang perdagangan, orang Tionghua di Semarang memiliki peranan yang besar karena adanya pendapatan masuk ke kas pemerintah Hindia Belanda dari faktor pajak dan cukai.
Pada masa itu, banyak orang Tionghua yang menjadi kepala kapal (syahbandar) karena memang, perdagangan ekspor dan impor dilakukan dengan jalur laut pelabuhan Semarang. Sehingga ada istilah yang mengatakan ada banyak bandar di kawasan pecinan, sampai sekarang penamaan bandar bisa di temukan di sekitar kawasan pecinan yang bernama Jalan Subandaran. Selain berperan dalam pendapatan dari cukai dan pajak, orang Tionghua juga berperan dalam mendirikan beberapa pabrik-pabrik kecil yang bisa menjadi tempat mata pencaharian penduduk lain.
3. KAMPUNG EROPA (LITTLE NETHERLAND)
Kampung Eropa atau
Little Netherland merupakan sebutan untuk wilayah yang dihuni oleh orang-orang Belanda. Kawasan yang lebih umum disebut dengan Kota Lama Semarang ini mulai berkembang pada tahun 1741. Pada awal mula, kawasan eropa ini hanya berupa gedung perkantoran, gudang, namun kemudian berkembang menjadi pusat budaya dan perdagangan dengan banyaknya bermunculan hotel, perumahan elit dan beberapa bangunan lain.
Ciri mendasar dari sebuah kampung Eropa adalah desian gedung dengan arsitektur model
art deco. Bangunan yang masih terawat seperti Bangunan Lawang Sewu yang merupakan bekas perkantoran bagi perusahaan Kereta Api Hindia Belanda atau NIS (
Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij). Orang Belanda yang bermukim di Semarang tidaklah sebanyak orang Tinghua, namun mereka menguasa segala akses pemerintahan dan perdanganan sehingga lebih mudah melakukan pertukaran budaya.
Kawasan perumahan kaum elit dibuat sedemikian rupa (kawasan gereja blenduk), membuat akses jalan darat seperti jalan Deandels dan Jalur kereta api yang menghubungkan antara
Semarang –
Surakarta –
Jogjakarta dan
Ambarawa. Peranan penting yang bisa telihat adalah adanya transportasi perkeretaapian yang bagus yang merupakan cikal-bakal seluruh jalur kereta api di Indonesia. Karena memang, Trans Kereta Api Semarang – Tanggung (Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah) yang dibuat pada tahun 1867 merupakan jalur kereta api yang pertama di Indonesia. Selain membangun sarana transportasi, orang Belanda juga membuat akses semakin mudah dari kota ke kota di jawa tengah dimulai dari Semarang, walaupun banyak masyarakat pribumi yang menjadi tidak nyaman karena adanya tanam paksa dan rodi.